Home » » Geliat Bisnis Penukaran Uang Baru Jelang Lebaran

Geliat Bisnis Penukaran Uang Baru Jelang Lebaran

Written By Hapraindonesia on 7/16/2014 | 12:43

KEDIRI, Hapraindonesia.co - Menjelang bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Lebaran selalu ada pemandangan wajib di jalan-jalan selain para penjual takjil yang bertebaran, maraknya para penjaja uang baru. Para penjaja uang baru ini umumnya menjual jasa penukaran uang di jalan-jalan protokol dengan berbekal tumpukan uang baru dan selembar banner dengan tulisan mencolok.

Pemandangan seperti ini tak hanya bisa ditemui di Kediri tetapi juga ada di hampir setiap kota. Para penjaja uang baru ini memanfaatkan kebutuhan gaya hidup sebagian masyarakat yang merasa wah jika membagi-bagikan uang baru ketika berlebaran bersama keluarga dan masyarakat. Sebagian masyarakat kita memang merasa gengsinya naik jika uang yang dibagikan dalam keadaan baru, meski jumlahnya tak seberapa banyak. Padahal, uang baru dan lama tak memiliki nilai yang berbeda ketika dipergunakan untuk membeli.

Gaya hidup sebagian orang inilah yang dimanfaatkan para penjual uang baru. Mereka menjual jasa penukaran uang yang sudah biasa dipergunakan dengan lembaran-lembaran uang baru yang belum pernah dipergunakan (uncirculated). Tentu saja, mereka meng-ambil keuntungan dari bisnis ini, biasanya mereka mengambil untung yang tak sedikit yakni antara 10 sampai 40 persen dari nilai yang ditukarkan. Padahal, mereka memperoleh uang baru tanpa modal sedikitpun. Hanya antri sebentar di bank yang telah ditunjuk pemerintah untuk melayani penukaran uang.

Banyaknya keuntungan yang diraup menjadi alasan mengapa bisnis ini menarik banyak orang untuk menggelutinya. Jika beberapa tahun lalu hanya beberapa orang saja yang menggeluti usaha ini tetapi Ramadhan tahun ini jumlahnya mencapai ratusan, menyebar ke seluruh jalanan di Kota Kediri. Hal yang sama juga dapat ditemui di kota-kota lain selain Kediri.

Hapra Indonesia memperoleh temuan menarik bahwa usaha penukaran uang baru ternyata dijalankan oleh sebuah jaringan yang teroganisir. Analisa ini didasarkan dari temuan aparat kepolisian beberapa waktu yang lalu terhadap beberapa kopor uang baru bernilai ratusan juta yang dibawa oleh beberapa orang dari Jakarta ke Kediri dan daerah sekitarnya melalui stasiun kereta api Jatinegara dan Senen, Jakarta Pusat. Berdasarkan pemeriksaan mereka mengaku menjalankan bisnis penukaran uang dengan omzet mencapai milyaran rupiah.

Jaringan penukaran uang baru ini juga memonopoli penukaran uang baru di suatu wilayah. Mereka menguasai bank-bank yang ditunjuk pemerintah untuk melayani penukaran uang baru sehingga masyarakat tak bisa menukarkan uang dan mau tak mau harus menukarkan uang baru kepada mereka. Tentunya, dengan tak lagi gratis. Dengan cara ini jaringan penukaran uang baru juga mampu ‘memaksa’ masyarakat untuk membeli uang baru, berapa mahalpun mereka menjualnya karena semua penjual disebuah kota adalah jaringan mereka dan memasang harga yang sama.

Beberapa penjaja uang baru mengakui, dalam sehari mereka bisa memperoleh keuntungan hingga ratusan ribu rupiah. Keuntungan tersebut kemudian dibagi antara pemodal dan para penjual yang menjajakan di pinggir-pinggir jalan. Bisa dibayangkan, berapa puluh juta rupiah keuntungan yang dapat diraup jaringan ini bila mereka memiliki puluhan atau ratusan penjaja uang baru yang beroperasi di pinggir-pinggir jalan.

Berdasarkan analisa-analisa tersebut serta pertimbangan hukum agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur tahun lalu memfatwakan haram bagi para pelaku bisnis ini dan orang-orang yang menukarkan uang. Sayangnya, gaya hidup dan keinginan mendapatkan prestise membuat orang jarang memperhatikan fatwa haram lembaga alim ulama tertinggi di Provinsi Jawa Timur ini. Bagi para pelakunya, ini berarti keuntungan besar masih bisa terus diraup.

Selain MUI, Kepolisian juga terus memberi peringatan kepada masyarakat agar waspada jika menukarkan uang di pinggir jalan. Dikhawatirkan, di antara lembaran-lembarang uang baru tersebut diselipkan uang palsu. Temuan kepolisian memang menunjukkan tren baru bahwa pelaku pembuatan uang palsu saat ini lebih menyukai pecahan dengan nominal kecil yakni Rp. 20.000 dan Rp. 10.000 untuk dipalsukan karena relatif aman dan tidak mudah menimbulkan kecurigaan. (H1/HP)
Share this article :
Comments
0 Comments

Post a Comment

 
Support : Hapra Indonesia
Copyright © 2011. Hapra Indonesia - All Rights Reserved